Perjuangan Mendaki ke Kawah Ijen

“Orang ma naik turun tangga biar kurus, lah ini buat liburan.” Begitu kira-kira kata temen gue waktu ngeliat perjuangan gue naik turun tangga kantor ke lantai 11 demi bisa fit saat ngedaki ke kawah ijen. Perjuangan naik turun tangga gue lakukan 2 bulan sebelum keberangkatan, alias bulan Maret. Awalnya masih rajin, tiap hari naik tangga, lama-lama berkurang hingga hanya 2 kali seminggu naik tangga. Mulai mendekati kepergian, gue mulai rutin lagi (hampir) tiap hari. Selain itu, gue juga ikut kelas aerobik/fitness 1-2 minggu sekali. Sulit ya, memang, membiasakan badan ini berolahraga, tapi demi kawah ijen semua gue lakukan!

Awal mula gue pengen ke kawah ijen, karena seorang teman, Sari yang sudah mengelilingi Indonesia, bilang kalo tempat terbagus yang pernah dia liat itu Kawah Ijen. Sejak saat itu, gue mulai suka googling dan liat-liat foto Ijen. Dari foto kawah biru toscanya, sampai foto blue fire. Buat yang belum tau, blue fire adalah api berwarna biru yang ada di dalam kawah Ijen, hanya bisa dilihat dini hari, dari jam 2-4. Blue fire katanya cuma ada 2 di dunia. Di Iceland dan Indonesia. Jika ingin melihat api lebih jelas, setelah mendaki selama 2 jam, kita harus turun lagi ke kawah selama 30 menit dengan kemiringan ekstrem agar bisa melihat si api biru. Banyak bule yang berburu api ini sampai ke kawah ijen.

Kesempatanpun datang saat gue melihat ada trip ke Ijen di pertengahan Mei, dan di trip itu juga ke Bromo. Sekalian, gue emang belum pernah ke Bromo dan pingin ke sana.

Setelah bermain di Baluran dan snorkeling di Menjangan (cek di postingan sebelumnya), gue sampai di pos awal pendakian ijen yaitu Paltuding kira-kira pukul 3 pagi. Setelah menunggu rombongan ngumpul, kita naik jam 3.30. Untuk menaiki kawah ijen kita harus menyiapkan baju hangat (karena suhu di sana luar biasa dingin sampai keluar asap dari mulut saya), alas kaki yang cocok untuk mendaki, senter dan yang paling penting adalah masker. Bau belerang di kawah ijen sangat menyengat, sehingga mengharuskan kita memakai masker. Gue agak galau, mau pake masker biasa atau gas mask. Secara gue baca di blog bule, mereka pada pake gas mask untuk faktor keamanan, tapi orang Indonesia kayanya lebih cuek bebek soal keselamatan. Gue sempet diketawain gara-gara mau pake gas mask. Akhirnya gue bawa aja 2-2nya. Masker kain biasa dan gas mask. Gue beli gas mask hanya 60.000 di web ini.

Rombongan dibagi menjadi beberapa kelompok, kelompok pertama adalah kelompok yang ingin mengejar blue fire, sehingga mereka harus mendaki setengah berlari agar bisa sampai di kawah setidaknya jam 4. Ga mungkin dong gue ikut kelompok yang ini? Hahahha. Gue sendiri ikut kelompok tengah-tengah, namun di perjalanan jadi kelompok paling belakang. Hahhaha. Seperti sudah diduga, gue yang lemah dalam urusan trekking ini pasti paling belakang!

Gue di barisan belakang bersama dengan Tour Leader Eki, bersama dengan 5 orang yang lain. Kami semua lemah-lemah. Bahkan surprisingly ada yang lebih lemah dari gue hahahah *oops!*. Kami berhenti hampir tiap 5 menit sekali, untuk mengatur nafas dan istirahat. Namun Eki terus mengingatkan kami untuk tidak duduk, agar tidak susah lagi saat berdiri dan mendaki. Beberapa dari kami (termasuk saya) sempat ingin menyerah namun Eki terus berkata “Ayo, jangan nyerah, masa sudah sampai sini kok nyerah.” Gue pun berjalan dan terus berjalan. Suatu keuntungan bagi kami untuk mendaki dalam keadaan gelap, karena kami tidak melihat seberapa panjang dan seramnya jalur trekking yang kami lewati.

Separuh lebih perjalanan telah terlewati. Kami pun beristirahat sebentar di sebuah warung besar. Bau belerang sangat menyengat sampai pada titik ini. Gue pun memutuskan untuk mengganti masker kain dengan gas mask. Thanks God, sekarang bisa lebih bernafas dengan gas mask ini! Setelah beristirahat 15 menit, kamipun melanjutkan perjalanan. Perjalanan kali ini lebih curam, tapi kami sadar di sekeliling kami ada pemandangan menakjubkan.

Pukul 5 pagi, setelah 2,5 jam mendaki (pendakian normal 2 jam), kami sampai juga di atas, kami berhenti untuk melihat jejeran gunung di atas awan. Omygod, kami berada di atas awan! Buat gue yang baru pertama kali naik gunung, ini pemandangan benar-benar menakjubkan. Luar biasa! Mungkin foto bisa lebih mengatakannya..

P1090797-1

amayzeeeeeng!

P1090800

sudut pandang lain..

P1090808

Gue di atas awaaan!

P1090794

The girl in the gas mask. Scary, huh?

Kami berfoto sejenak dengan pemandangan ini, untuk menunggu perginya kabut yang sedang menyelimuti kawah ijen. Setelah beberapa saat, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak, kawah ijen! Perjalanan menjadi lebih sulit karena bau belerang semakin menyengat. Bahkan gue mulai batuk-batuk! Waduh, ga kebayang gimana yang pake masker biasa. Akhirnya kamipun sampai di puncak kawah ijen! Sayang sekali, kabut tebal menyelimuti kawahnya yang berwarna biru tosca. Kami tidak bisa melihat cantiknya kawah ijen. Tapi gue udah bersyukur karena bisa sampai di sini dan melihat pemandangan yang menakjubkan. Bau belerang semakin menyengat dan sudah masuk paru-paru. Paru-paru pun terasa sesak. Saat itu, blue fire sudah tidak ada, karena kami kurang pagi sampai di sana.

P1090814

Kawah ijen yang tertutup kabut

P1090822

Gue lagi nahan nafas!

P1090827

Ruamenya kaya pasar!

Teman-teman yang sampai di sana jam setengah 5 sempat turun ke kawah dan melihat sisa-sisa blue fire. Ada 1 orang yang berhasil sampai kawah pukul 4.15 dan dia berhasil mendapatkan foto blue fire. Wow, luar biasa sekali semangatnya! Orang yang sama juga sempat menunggu di atas sampai kabut hilang. Gila dah! Buat mereka yang turun ke kawah, mereka bisa melihat biru tosca-nya ijen, karena bisa melihat dari sudut pandang yang tidak dikelilingi kabut. Sementara kami yang tidak turun, harus cukup puas memandangi kabutnya saja. Dari cerita teman saya yang turun, medan untuk turun ke bawah sangat terjal, apalagi pas naik ke atasnya lagi, beuh, katanya sih kemiringan hampir vertical. Kebayang betapa bahayanya kalo turun ke kawah.

Blue fire yang berhasil diambil sama anak yang sampai kawah jam 4.15 (Photo by Yogi)

IMG-20150517-WA0021

Sisa-sisa blue fire. Dan itu disekelilingnya adalah belerang (Photo by Rina)

IMG-20150517-WA0019

Kawah biru tosca yang berhasil diambil kalau turun ke bawah (Photo by Rina)

Biru toscanya kawah ijen dari Mbah Google (Photo from ramadhanadi.wordpress.com)

Eki mengajak kami untuk cepat-cepat kembali pulang karena asap belerang menggila dan anginnya ke arah pengunjung. Kata dia, baru kali ini dia ngerasain asepnya separah ini. Wow! Setelah berfoto-foto kami pun kembali. Perjuangan banget foto di situ ga pake masker, karena langsung menghirup belerang. Gue sampai ga bisa senyum sangking nahan nafasnya. Huhu.

Perjalanan turun biasanya lebih mudah, tapi ini tak semudah itu. Kami harus menahan berat badan saat turun. Saat turun, hari sudah terang dan kami bisa melihat dengan persis trek yang tadi kami lalui. Gila, ternyata trek pendakiannya jauuuuuuuuh banget dan cukup miring. Gue yakin, kalo gue pas ndaki ngeliat trek-nya pasti jadi jiper duluan dan ga jadi daki. Untung pas gelap!

Sesampainya di bawah, kami pun sarapan dan kemudian melanjutkan perjalanan ke pemandian air panas. Menurut saya sih tempatnya biasa aja. Tapi ya lumayanlah buat yang mau menghangatkan (atau memanaskan?) kaki dengan air belerang.

Pemandian air panas ijen

Pemandian air panas ijen

KISAH SANG PENAMBANG BELERANG

Selain cerita pendakian, ada juga cerita lain yang kami temui. Cerita sang penambang belerang. Sepanjang perjalanan kami bertemu dengan bapak-bapak yang mendaki ke ijen untuk mengambil belerang di kawahnya. Mereka mengangkut belerang sebanyak 80 KG. Mereka harus menaiki medan yang terjal dari kawah untuk kemudian turun ke bawah. Gila! Kita aja orang biasa ga bisa ngangkut itu belerang sambil berdiri, ini mereka ngangkut belerang sambil mendaki. Dan lebih gilanya, mereka menjual belerang tersebut dengan harga 900 per kg. 80 kg cuman dapet 70ribu!! Gila, perjuangan mereka mendaki dengan asap belerang Cuma dihargai segitu. Dan banyak dari mereka yang hanya menggunakan masker biasa, tidak menggunakan masker yang layak. Gila ya, bersyukur banget kita yang kerja biasa ga perlu menghadapi maut seperti itu dan mendapatkan upah yang jauh lebih layak. Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?

Salah satu penambang belerang

Salah satu penambang belerang

Simak cerita selanjutnya di Bromo, di sini.

5 thoughts on “Perjuangan Mendaki ke Kawah Ijen

  1. Pingback: Taman Nasional Baluran dan Pulau Menjangan | see. taste. tell

  2. Pingback: Gunung Bromo dan Air Terjun Madakaripura | see. taste. tell

  3. Great effort lo terbayar ya kayanya. Pasti sangat menginspirasi. Lol.

    Gw jadi pengen juga nyobain ke sana. Thanks Cuni buat ceritanya!! Termasuk para penambang belerangnya. 😊😊😊

    Like

    • Hahahaha ayo ke sana lin. Bagus banget apalagi kalo pas ga lagi kabut. Thanks for reading my post anyway! 😘

      Like

Leave a comment